PENGERTIAN PERCERAIAN, FAKTOR-FAKTOR PERCERAIAN, AKIBAT PERCERAIAN |
Pengertian
Perceraian
Menurut Zuhdi (1997:17) menyatakan perceraian dalam Islam adalah suatu perbuatan
yang halal namun tidak disukai oleh Allah, karena perceraian bertentangan
dengan tujuan perkawinan, yakni untuk membentuk rumah tangga yang bahagia untuk
selamanya.
Pengertian perceraian dapat dilihat dari dua
segi yaitu dari segi bahasa dan istilah. Dari segi bahasa kata perceraian
menurut Arifin ( 1990: 82) mempunyai
padanan kata thalaq yang dalam bahasa Arab berasal dari kata “ithlaq” yang
mengandung arti melepaskan atau meninggalkan. Rasjid (1976: 401) menyatakan
bahwa 'thalaq' menurut bahasa adalah melepaskan ikatan. Hal ini senada dengan
pendapat ‘Uwaidah (1998: 427) yang menyatakan bahwa 'thalaq' menurut bahasa
adalah pemutusan ikatan. Sedangkan Muchtar (1974: 144) menyatakan bahwa thalaq
adalah membuka ikatan, membatalkan perjanjian. Pemaknaan bahasa diatas tidak
jauh beda dengan apa yang dikemukakan oleh Sabiq (1987: 9) yang menyatakan bahwa
thalaq adalah meninggalkan atau melepaskan.
Sedangkan dari segi istilah, Rasjid (1976:
401) menyatakan bahwa perceraian atau 'thalaq' adalah melepaskan ikatan
perkawinan. Sedangkan Matdawan (1990: 69) dikatakannya bahwa thalaq adalah
melepaskan tali akad nikah (perkawinan) sehingga berakhirlah hidup sebagai
suami isteri. Hal yang sama menurut Sabiq (1987: 9) menyatakan bahwa thalaq
adalah melepaskan tali perkawinan atau hubungan perkawinan.
Jadi, dari
pengertian diatas, maka penulis dapat menarik kesimpulan bahwa
perceraian atau thalaq adalah pemutusan
hubungan pernikahan atau ikatan perkawinan suami isteri. Proses perceraian ini terjadi apabila dalam suatu
perkawinan sudah tidak ditemukan lagi kedamaian atau kemufakatan lagi.
Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa perkawinan apabila sudah
tidak dapat mencapai tujuannya yaitu tercapainya keluarga yang sakinah mawaddah
wa rahmah, maka perceraian merupakan
jalan terakhir dan terbaik yang dapat
ditempuh.
Faktor-faktor Perceraian
Daradjat (1980: 20) membagi faktor penyebab
timbulnya perceraian kedalam 3 (tiga) golongan, yaitu:
1.
Faktor
saling tidak pengertian
Apabila tidak saling
pengertian maka tidak akan tercapai pernikahan dengan baik, maka perselisihan
dan percekcokan tidak dapat dihindari yang dapat mengakibatkan pecahnya
kehidupan rumah tangga.
2.
Faktor
perasaan yang tidak saling menghargai
Faktor perasaan yang
tidak saling menghargai dapat menjadi sebab terjadinya ketegangan dalam rumah
tangga. Perasaan kurang dihargai baik oleh pihak suami maupun pihak isteri,
karena rasa harga diri adalah salah satu kebutuhan jiwa yang terpokok dalam
hidup manusia.
3.
Kehilangan
kepercayaan
Kehilangan
kepercayaan antar satu sama lain sering menimbulkan perselisihan dalam keluarga
dan membawa retaknya keluarga kemudian menjadi rapuh hubungan suami isteri.
Hal ini, senada dengan apa yang dikemukakan
oleh Dagun (2002: 114) bahwa banyak faktor yang menyebabkan terjadinya
perceraian, yaitu:
·
Persoalan
ekonomi
·
Perbedaan
usia yang cukup tinggi
·
Keinginan
untuk memperoleh anak putra (putri)
·
Persoalan
prinsip hidup
·
Perbedaan
cara mendidik anak
·
Pengaruh
sosial dari pihak luar (tetangga, sanak saudara dan sahabat).
Noor (1983: 50) menyatakan bahwa ada 5 (lima)
faktor terjadinya perceraian, yaitu:
·
Suami
isteri dalam membangun rumah tangga atau keluarga tidak dengan niat ikhlas
·
Setiap
anggota rumah tangga atau keluarga tidak memahami dan tidak dapat menjalankan
fungsinya masing-masing
·
Tidak
ada suasana keagamaan dalam kehidupan rumah tangga sehari-hari
·
Kurang
terpeliharanya kesehatan hidup
·
Belum
terpenuhi kebutuhan ekonomi
·
Belum
tercapainya fungsi pendidikan keluarga terutama bagi keluarga
Jadi, dari penjelasan diatas dapat ditarik
kesimpulan bahwa faktor-faktor yang melatar belakangi terjadinya perceraian
pada orang tua adalah faktor individu, faktor ekonomi, faktor pendidikan dan
faktor sosial.
Sebab-sebab Putusnya
Hubungan Perkawinan
Soemiyati
(1999: 105) menyatakan bahwa dalam konsep fikih, sebab-sebab putusnya hubungan
perkawinan, yaitu:
·
Thalaq
yaitu membuka ikatan dan membatalkan perjanjian dalam perkawinan
·
Khuluq
yaitu bentuk perceraian atas persetujuan suami isteri dengan jatuhnya thalaq
satu dari suami dengan tebuasan harta atau uang dari pihak isteri yang
menginginkan cerai dengan khuluk
·
Syiqaq
yaitu perselisihan suami isteri yang diselesaikan dua orang hakam, satu orang
dari pihak suami dan yang satu dari pihak isteri
·
Fasakh
yaitu perkawinan yang diputuskan atau dirusakkan atas permintaan salah satu
pihak oleh hakim Pengadilan Agama
·
Taqliq
Thalaq yaitu thalaq yang digantungkan pada suatu hal yang mungkin terjadi yang
telah disebutkan dalam suatu perjanjian yang telah diperjanjikan terlebih
dahulu
·
Ila’
yaitu suami bersumpah untuk tidak mencampuri isteri
·
Zhihar
yaitu seorang suami yang bersumpah bahwa isterinya itu baginya sama dengan
punggung ibunya
·
Li’an
yaitu sumpah yang didalamnya terdapat pernyataan bersedia menerima laknat Allah
apabila yang mengucapkan sumpah itu berdusta
·
Kematian
suami atau isteri dapat menyebabkan putusnya perkawinan.
·
Dari
penjelasan diatas penulis dapat simpulkan bahwa sebab-sebab putusnya hubungan
perkawinan yaitu thalaq, khuluq, syiqaq, fasakh, ta’liq, i’la, zhihar, li’an
dan kematian.
Akibat
Perceraian
Perceraian merupakan jalan terakhir untuk
menyelamatkan kehidupan keluarga yang diselubungi oleh suasana ketegangan,
perselisihan, perkelahian sampai pula terjadi ancam-mengancam yang tidak dapat
bisa dirukunkan kembali. Jika dalam kehidupan keluarga diatas dibiarkan
berlarut-larut tanpa adanya penyelesaian yang jelas dan tegas serta memuaskan,
maka kedua belah pihak akan merasakan lebih tersiksa, tertekan batin yang
merupakan racun yang amat berbahaya bagi kehidupan keluarga tersebut.
Justru karena itulah undang-undang perkawinan
membolehkan perceraian, namun dari perceraian tersebut mengandung akibat-akibat
yang negatif, antara lain:
a. Terhadap suami isteri
Suami isteri yang selalu hidup rukun dan
tenang akan sangat bermanfaat baik dalam lingkungan rumah tangga itu sendiri
maupun lingkungan yang luas. Bahwa suami isteri mempunyai fungsi sebagai pasangan
hidup berumah tangga, sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Baqarah: 187
yang berbunyi:
.....هنّ لباس لّكم وانتم لباس لهنّ....
“Mereka
itu pakaian bagimu dan kamu pakaian bagi mereka” (Dahlan dan Sahil, 1999: 51).
Perceraian yang biasanya diawali dengan
konflik, dimana fitrah dan nilai-nilai kemanusian sebagai mahluk Allah akan
jatuh martabat manusia dan akan lebih rendah dari binatang. Hal tersebut senada
dengan firman Allah dalam surat At-Tiin: 4-5 yang berbunyi:
لقد خلقنا الإنسان فى احسن تقويم
“Sungguh
telah kami ciptakan manusia dalam sosok yang paling canggih. Kemudian kami
kembalikan dia ke kondisi yang paling rendah” (Dahlan dan Sahil, 1999: 1114).
Sedangkan Soemiyati (1999: 105) merumuskan
akibat-akibat dari perceraian, yaitu:
·
Baik
ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,
semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai
penguasaan anak-anak dan pengadilan keputusannya.
·
Biaya
pemeliharan dan pendidikan anak-anak menjadi tanggung jawab pihak bapak,
kecuali bapak dalam keadaan tidak mampu sehingga tidak dapat melakukan
kewajiban tersebut
·
Pengadilan
dapat mewajibkan kepada mantan suami untuk memberikan biaya penghidupan atau
menentukan suatu kewajiban bagi mantan isteri.
·
Dari
penjelasan diatas, dapat dilihat bahwa perceraian orang tua akan berdampak
terhadap anak, terutama dalam hal pendidikannya. Dengan demikian segala aspek
kehidupan anak haruslah lebih diperhatikan dan menjadi tanggungjawab kedua
orang tuanya. Jadi, kewajiban suami isteri dalam mengurus masa depan anak tidak
akan pernah putus, demi kepentingan anak dan kemanusiaan.
b. Terhadap kepribadian anak
Rumah tangga merupakan institusi pertama dan
paling utama untuk memanusiakan manusia dan mensosialisasikan anak manusia.
Disini anak belajar melakukan adaptasi terhadap lingkungan sosialnya, mengenali
aturan-aturan hidup dan norma-norma susila tertentu. Dalam keluarga anak
mendapat cinta kasih, bimbingan dan perlindungan. Melalui pemahaman ini akan
mulai mengerti simpati, kasih sayang, solidaritas, kedisiplinan dan loyalitas
keluarga yang utuh dan terciptalah sosialitas sejati.
Tatilarasti (1989: 19-20) yang menyatakan
bahwa peristiwa perceraian orang tua membuat anak menjadi bingung, malu dan
berduka karena selalu terombang-ambing oleh perasaan cinta kasih dan kekecewaan
terhadap kedua orang tua. Anak selalu dihantui rasa rindu dan dendam kemudian
harus memilih salah satu pihak orang tua. Dari sini anak mulai timbul tidak simpati, tidak hormat, tidak menurut
terhadap aturan yang ada dalam keluarga yang diinginkan oleh kedua orang
tuanya. Padahal anak harus wajib mematuhi serta hormat kepada orang tuanya,
terutama kepada ibunya. Hal ini senada dengan firman Allah SWT dalam surat
Luqman: 14 yang berbunyi:
ووصّيناالانسان بوالديه حملته امّه وهنا على وهن ّوفصله
في عامين ان اشكر لي ولوالديك اليّ المصير. (لقمن:14)
“Kami perintahkan kepada manusia untuk
berbakti kepada kedua orang tuanya, ibunya yang mengandung dalam keadaan yang
sangat lemah, kemudian disapih sampai dua tahun. Bersyukurlah kamu kepada-Ku
dan kepada kedua orang tuamu. Kembalimu sekalian hanya kepada-Ku belaka”
(Dahlan dan Sahil, 1999: 725).
Kartono (1979: 255) yang menyatakan bahwa
tidak utuhnya keluarga bagi anak mengalami rasa tidak aman secara emosional,
batin anak merasa tertekan dan menderita, malu terhadap lingkungan atas
perbuatan kedua orang tuanya. Muncul pula perasaan bersalah dan berdosa, kecewa
dan menyesal kemudian timbul kepedihan dan kesengsaraan batin yang hebat.
Jadi, dari pembahasan diatas dapat dilihat
bahwa dampak perceraian orang tua terhadap kepribadian anak meliputi; anak
kurang merasakan kasih sayang, tidak hormat, tidak simpati, merasa tertekan,
menderita dan merasa tidak aman secara emosional.
Macam-macam
Perceraian
Muchtar (1974: 156-162) mengklasifikasikan
macam-macam perceraian, yaitu:
1.
Perceraian
raj’i
Perceraian ini,
dimana suami boleh merujuk isterinya pada waktu iddah
2.
Perceraian
ba’in
Perceraian satu atau
dua yang disertai uang ‘iwald dari pihak isteri
3.
Perceraian
sunni
Perceraian yang
dijatuhkan mengikuti ketentuan Al-qur’an maupun Sunnah Rasul
4.
Perceraian bid’i
Perceraian yang
dijatuhkan dengan tidak mengikuti ketentuan Al-qur’an maupun Sunnah Rasul.
Jadi, dari penjelasan diatas penulis dapat
menyimpulkan bahwa macam-macam perceraian ada yang berdasarkan Al-qur’an maupun
Sunnah (raj’i, ba’in, sunni) dan ada yang tidak berdasarkan Al-qur’an maupun
Sunnah (bid’i).
Terima kasih atas informasinya nya jangan lupa kunjungi lamanku di https://soaltescpns2018.blogspot.com/
ReplyDelete