PAI
Wawasan-Islam
Teladan Rasulullah SAW Dalam Idul Fitri
Selamat Hari Raya Idul Fitri, Taqabbalallahu minna wa minkum, Minal Aidin Wal faidzin. Dalam rangka mendapatkan hikmah Idul Fitri berikut ini saya kutip penjelasan terkait Teladan Rasulullah dalam Idul Fitri karya: Al-Ustadz Qomar ZA, Lc.
Idul Fitri bisa memiliki banyak makna bagi tiap-tiap
orang. Ada yang memaknai Idul Fitri sebagai hari yang menyenangkan karena
tersedianya banyak makanan enak, baju baru, banyaknya hadiah, dan lainnya. Ada
lagi yang memaknai Idul Fitri sebagai saat yang paling tepat untuk pulang
kampung dan berkumpul bersama handai taulan. Sebagian lagi rela melakukan
perjalanan yang cukup jauh untuk mengunjungi tempat-tempat wisata, dan berbagai
aktivitas lain yang bisa kita saksikan. Namun barangkali hanya sedikit yang mau
untuk memaknai Idul Fitri sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
“memaknainya”.
Idul Fitri memang hari istimewa. Secara syar’i pun dijelaskan bahwa Idul Fitri
merupakan salah satu hari besar umat Islam selain Hari Raya Idul Adha.
Karenanya, agama ini membolehkan umatnya untuk mengungkapkan perasaan bahagia
dan bersenang-senang pada hari itu.
Sebagai bagian dari ritual agama, prosesi perayaan Idul Fitri sebenarnya tak
bisa lepas dari aturan syariat. Ia harus didudukkan sebagaimana keinginan
syariat.
Bagaimana masyarakat kita selama ini menjalani perayaan Idul Fitri yang datang
menjumpai? Secara lahir, kita menyaksikan perayaan Hari Raya Idul Fitri masih
sebatas sebagai rutinitas tahunan yang memakan biaya besar dan juga melelahkan.
Kita sepertinya belum menemukan esensi yang sebenarnya dari Hari Raya Idul
Fitri sebagaimana yang dimaukan syariat.
Bila Ramadhan sudah berjalan 3 minggu atau sepekan lagi ibadah puasa usai,
“aroma” Idul Fitri seolah mulai tercium. Ibu-ibu pun sibuk menyusun menu
makanan dan kue-kue, baju-baju baru ramai diburu, transportasi mulai padat
karena banyak yang bepergian atau karena arus mudik mulai meningkat, serta
berbagai aktivitas lainya. Semua itu seolah sudah menjadi aktivitas “wajib”
menjelang Idul Fitri, belum ada tanda-tanda menurun atau berkurang.
Untuk mengerjakan sebuah amal ibadah, bekal ilmu syar’i memang mutlak
diperlukan. Bila tidak, ibadah hanya dikerjakan berdasar apa yang dia lihat
dari para orang tua. Tak ayal, bentuk amalannya pun menjadi demikian jauh dari
yang dimaukan syariat.
Demikian pula dengan Idul Fitri. Bila kita paham bagaimana bimbingan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam masalah ini, tentu berbagai aktivitas yang
selama ini kita saksikan bisa diminimalkan. Beridul Fitri tidak harus
menyiapkan makanan enak dalam jumlah banyak, tidak harus beli baju baru karena
baju yang bersih dan dalam kondisi baik pun sudah mencukupi, tidak harus mudik
karena bersilaturahim dengan para saudara yang sebenarnya bisa dilakukan kapan
saja, dan sebagainya. Dengan tahu bimbingan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam, beridul Fitri tidak lagi butuh biaya besar dan semuanya terasa lebih
mudah.
Berikut ini sedikit penjelasan tentang bimbingan syariat
dalam beridul Fitri.
Definisi Id (Hari Raya)
Ibnu A’rabi mengatakan: “Id dinamakan demikian karena
setiap tahun terulang dengan kebahagiaan yang baru.” (Al-Lisan hal. 5)
Ibnu Taimiyyah berkata: “Id adalah sebutan untuk sesuatu yang selalu terulang
berupa perkumpulan yang bersifat massal, baik tahunan, mingguan atau bulanan.”
(dinukil dari Fathul Majid hal. 289 tahqiq Al-Furayyan)
Ied dalam Islam adalah Idul Fitri, Idul Adha dan Hari Jum’at.
Dari Anas bin Malik ia berkata: Rasulullah datang ke Madinah dalam keadaan
orang-orang Madinah mempunyai 2 hari (raya) yang mereka bermain-main padanya.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: “Apa (yang kalian lakukan)
dengan 2 hari itu?” Mereka menjawab: “Kami bermain-main padanya waktu kami
masih jahiliyyah.” Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah telah menggantikannya untuk kalian dengan yang lebih baik
dari keduanya, yaitu Idul Adha dan Idul Fitri.” (Shahih, HR. Abu Dawud no.
1004, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani)
Hukum Shalat Idul Fitri
Ibnu Rajab berkata: “Para ulama berbeda pendapat tentang
hukum Shalat Id menjadi 3 pendapat:
Pertama: Shalat Id merupakan amalan Sunnah (ajaran Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam) yang dianjurkan, seandainya orang-orang meninggalkannya maka
tidak berdosa. Ini adalah pendapat Al-Imam Ats-Tsauri dan salah satu riwayat
dari Al-Imam Ahmad.
Kedua: Bahwa itu adalah fardhu kifayah, sehingga jika penduduk suatu negeri
sepakat untuk tidak melakukannya berarti mereka semua berdosa dan mesti
diperangi karena meninggalkannya. Ini yang tampak dari madzhab Al-Imam Ahmad
dan pendapat sekelompok orang dari madzhab Hanafi dan Syafi’i.
Ketiga: Wajib ‘ain (atas setiap orang) seperti halnya Shalat Jum’at. Ini
pendapat Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.
Al-Imam Asy-Syafi’i mengatakan dalam Mukhtashar Al-Muzani: “Barangsiapa
memiliki kewajiban untuk mengerjakan Shalat Jum’at, wajib baginya untuk
menghadiri shalat 2 hari raya. Dan ini tegas bahwa hal itu wajib ‘ain.”
(Diringkas dari Fathul Bari Ibnu Rajab, 6/75-76)
Yang terkuat dari pendapat yang ada –wallahu a’lam– adalah pendapat ketiga
dengan dalil berikut:
Dari Ummu ‘Athiyyah ia mengatakan: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
memerintahkan kami untuk mengajak keluar (kaum wanita) pada (hari raya) Idul
Fitri dan Idul Adha yaitu gadis-gadis, wanita yang haid, dan wanita-wanita yang
dipingit. Adapun yang haid maka dia menjauhi tempat shalat dan ikut menyaksikan
kebaikan dan dakwah muslimin. Aku berkata: “Wahai Rasulullah, salah seorang
dari kami tidak memiliki jilbab?” Nabi menjawab: “Hendaknya saudaranya
meminjamkan jilbabnya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim, ini lafadz Muslim
Kitabul ‘Idain Bab Dzikru Ibahati Khurujinnisa)
Perhatikanlah perintah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk pergi menuju
tempat shalat, sampai-sampai yang tidak punya jilbabpun tidak mendapatkan
udzur. Bahkan tetap harus keluar dengan dipinjami jilbab oleh yang lain.
Shiddiq Hasan Khan berkata: “Perintah untuk keluar berarti perintah untuk
shalat bagi yang tidak punya udzur… Karena keluarnya (ke tempat shalat)
merupakan sarana untuk shalat dan wajibnya sarana tersebut berkonsekuensi
wajibnya yang diberi sarana (yakni shalat).
Diantara dalil yang menunjukkan wajibnya Shalat Id adalah bahwa Shalat Id
menggugurkan Shalat Jum’at bila keduanya bertepatan dalam satu hari. Dan
sesuatu yang tidak wajib tidak mungkin menggugurkan suatu kewajiban.”
(Ar-Raudhatun Nadiyyah, 1/380 dengan At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah. Lihat pula lebih
rinci dalam Majmu’ Fatawa, 24/179-186, As-Sailul Jarrar, 1/315, Tamamul Minnah,
hal. 344)
Wajibkah Shalat Idul Fitri Bagi Musafir?
Sebuah pertanyaan telah diajukan kepada Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah, yang intinya: Apakah untuk Shalat Id disyaratkan pelakunya
seorang yang mukim (tidak sedang bepergian)?
Beliau kemudian menjawab yang intinya: “Ulama berbeda pendapat dalam masalah
ini. Ada yang mengatakan, disyaratkan mukim. Ada yang mengatakan, tidak
disyaratkan mukim.”
Lalu beliau mengatakan: “Yang benar tanpa keraguan, adalah pendapat yang
pertama. Yaitu Shalat Id tidak disyariatkan bagi musafir, karena Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam banyak melakukan safar dan melakukan 3 kali umrah
selain umrah haji, beliau juga berhaji wada’ dan ribuan manusia menyertai
beliau, serta beliau berperang lebih dari 20 peperangan, namun tidak seorangpun
menukilkan bahwa dalam safarnya beliau melakukan Shalat Jum’at dan Shalat Id…”
(Majmu’ Fatawa, 24/177-178)
Mandi Sebelum Melakukan Shalat Idul Fitri
“Dari Malik dari Nafi’, ia berkata bahwa Abdullah bin
Umar dahulu mandi pada hari Idul Fitri sebelum pergi ke mushalla (lapangan).”
(Shahih, HR. Malik dalam Al-Muwaththa` dan Al-Imam Asy-Syafi’i dari jalannya
dalam Al-Umm)
Dalam atsar lain dari Zadzan, seseorang bertanya kepada ‘Ali radhiallahu 'anhu
tentang mandi, maka ‘Ali berkata: “Mandilah setiap hari jika kamu mau.” Ia
menjawab: “Tidak, mandi yang itu benar-benar mandi.” Ali radhiallahu 'anhu
berkata: “Hari Jum’at, hari Arafah, hari Idul Adha, dan hari Idul Fitri.” (HR.
Al-Baihaqi, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa`, 1-176-177))
Memakai Wewangian
“Dari Musa bin ‘Uqbah, dari Nafi’ bahwa Ibnu ‘Umar mandi
dan memakai wewangian di hari Idul fitri.” (Riwayat Al-Firyabi dan Abdurrazzaq)
Al-Baghawi berkata: “Disunnahkan untuk mandi di hari Id. Diriwayatkan dari Ali
bahwa beliau mandi di hari Id, demikian pula yang sejenis itu dari Ibnu Umar
dan Salamah bin Akwa’ dan agar memakai pakaian yang paling bagus yang dia
dapati serta agar memakai wewangian.” (Syarhus Sunnah, 4/303)
Memakai Pakaian yang Bagus
Dari Abdullah bin Umar bahwa Umar mengambil sebuah jubah
dari sutera yang dijual di pasar maka dia bawa kepada Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam, lalu Umar radhiallahu 'anhu berkata: “Wahai Rasulullah,
belilah ini dan berhiaslah dengan pakaian ini untuk hari raya dan menyambut
utusan-utusan.” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun berkata: “Ini
adalah pakaian orang yang tidak akan dapat bagian (di akhirat)….” (Shahih, HR.
Al-Bukhari Kitabul Jum’ah Bab Fil ‘Idain wat Tajammul fihi dan Muslim Kitab
Libas Waz Zinah)
Ibnu Rajab berkata: “Hadits ini menunjukkan disyariatkannya berhias untuk hari
raya dan bahwa ini perkara yang biasa diantara mereka.” (Fathul Bari)
Makan Sebelum Berangkat Shalat Idul Fitri
Dari Anas bin Malik ia berkata: Adalah Rasulullah tidak
keluar di hari fitri sebelum beliau makan beberapa kurma. Murajja‘ bin Raja‘
berkata: Abdullah berkata kepadaku, ia mengatakan bahwa Anas berkata kepadanya:
“Nabi memakannya dalam jumlah ganjil.” (Shahih, HR Al-Bukhari Kitab Al-’Idain
Bab Al-Akl Yaumal ‘Idain Qablal Khuruj)
Ibnu Rajab berkata: “Mayoritas ulama menganggap sunnah untuk makan pada Idul
Fitri sebelum keluar menuju tempat Shalat Id, diantara mereka ‘Ali dan Ibnu
‘Abbas radhiallahu 'anhuma.”
Diantara hikmah dalam aturan syariat ini, yang disebutkan oleh para ulama
adalah:
a. Menyelisihi Ahlul kitab, yang tidak mau makan pada hari raya mereka sampai
mereka pulang.
b. Untuk menampakkan perbedaan dengan Ramadhan.
c. Karena sunnahnya Shalat Idul Fitri lebih siang (dibanding Idul Adha)
sehingga makan sebelum shalat lebih menenangkan jiwa. Berbeda dengan Shalat
Idul Adha, yang sunnah adalah segera dilaksanakan. (lihat Fathul Bari karya
Ibnu Rajab, 6/89)
Bertakbir Ketika Keluar Menuju Tempat Shalat
“Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar
di Hari Raya Idul Fitri lalu beliau bertakbir sampai datang ke tempat shalat
dan sampai selesai shalat. Apabila telah selesai shalat beliau memutus takbir.”
(Shahih, Mursal Az-Zuhri, diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dan dishahihkan oleh
Asy-Syaikh Al-Albani dengan syawahidnya dalam Ash-Shahihah no. 171)
Asy-Syaikh Al-Albani berkata: “Dalam hadits ini ada dalil disyariatkannya apa
yang diamalkan kaum muslimin yaitu bertakbir dengan keras selama perjalanan
menuju tempat shalat walaupun banyak diantara mereka mulai menggampangkan
sunnah (ajaran) ini, sehingga hampir-hampir menjadi sekedar berita (apa yang
dulu terjadi). Hal itu karena lemahnya mental keagamaan mereka dan karena rasa
malu untuk menampilkan sunnah serta terang-terangan dengannya. Dan dalam
kesempatan ini, amat baik untuk kita ingatkan bahwa mengeraskan takbir di sini
tidak disyariatkan padanya berpadu dalam satu suara sebagaimana dilakukan
sebagian manusia2…” (Ash-Shahihah: 1 bagian 1 hal. 331)
Lafadz Takbir
Tentang hal ini tidak terdapat riwayat yang shahih dari
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam –wallahu a’lam–. Yang ada adalah dari
shahabat, dan itu ada beberapa lafadz.
Asy-Syaikh Al-Albani berkata: Telah shahih mengucapkan 2 kali takbir dari
shahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu 'anhu:
Bahwa beliau bertakbir di hari-hari tasyriq:
(HR. Ibnu Abi Syaibah, 2/2/2 dan sanadnya shahih)
Namun Ibnu Abi Syaibah menyebutkan juga di tempat yang lain dengan sanad yang
sama dengan takbir tiga kali. Demikian pula diriwayatkan Al-Baihaqi (3/315) dan
Yahya bin Sa’id dari Al-Hakam dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dengan tiga kali
takbir.
Dalam salah satu riwayat Ibnu ‘Abbas disebutkan:
(Lihat Irwa`ul Ghalil, 3/125)
Tempat Shalat Idul Fitri
Banyak ulama menyebutkan bahwa petunjuk Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam dalam shalat dua hari raya adalah beliau selalu melakukannya
di mushalla.
Mushalla yang dimaksud adalah tempat shalat berupa tanah lapang dan bukan
masjid, sebagaimana dijelaskan sebagian riwayat hadits berikut ini.
Dari Al-Bara’ Ibnu ‘Azib ia berkata: “Nabi pergi pada hari Idul Adha ke Baqi’
lalu shalat 2 rakaat lalu menghadap kami dengan wajahnya dan mengatakan:
‘Sesungguhnya awal ibadah kita di hari ini adalah dimulai dengan shalat. Lalu
kita pulang kemudian menyembelih kurban. Barangsiapa yang sesuai dengan itu
berarti telah sesuai dengan sunnah…” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitab Al-’Idain
Bab Istiqbalul Imam An-Nas Fi Khuthbatil ‘Id)
Ibnu Rajab berkata: “Dalam hadits ini dijelaskan bahwa keluarnya Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan shalatnya adalah di Baqi’, namun bukan yang
dimaksud adalah Nabi shalat di kuburan Baqi’. Tapi yang dimaksud adalah bahwa
beliau shalat di tempat lapang yang bersambung dengan kuburan Baqi’ dan nama
Baqi’ itu meliputi seluruh daerah tersebut. Juga Ibnu Zabalah telah menyebutkan
dengan sanadnya bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat Id di luar
Madinah sampai di lima tempat, sehingga pada akhirnya shalatnya tetap di tempat
yang dikenal (untuk pelaksanaan Id, -pent.). Lalu orang-orang sepeninggal
beliau shalat di tempat itu.” (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/144).
“Dari Abu Sa’id Al-Khudri ia mengatakan: Bahwa Rasulullah dahulu keluar di hari
Idul Fitri dan Idhul Adha ke mushalla, yang pertama kali beliau lakukan adalah
shalat, lalu berpaling dan kemudian berdiri di hadapan manusia sedang mereka
duduk di shaf-shaf mereka. Kemudian beliau menasehati dan memberi wasiat kepada
mereka serta memberi perintah kepada mereka. Bila beliau ingin mengutus suatu
utusan maka beliau utus, atau ingin memerintahkan sesuatu maka beliau
perintahkan, lalu beliau pergi.” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitab Al-’Idain Bab
Al-Khuruj Ilal Mushalla bi Ghairil Mimbar dan Muslim)
Ibnu Hajar menjelaskan: “Al-Mushalla yang dimaksud dalam hadits adalah tempat
yang telah dikenal, jarak antara tempat tersebut dengan masjid Nabawi sejauh
1.000 hasta.” Ibnul Qayyim berkata: “Yaitu tempat jamaah haji meletakkan barang
bawaan mereka.”
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata: “Nampaknya tempat itu dahulu di
sebelah timur masjid Nabawi, dekat dengan kuburan Baqi’…” (dinukil dari
Shalatul ‘Idain fil Mushalla Hiya Sunnah karya Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 16)
Waktu Pelaksanaan Shalat Idul Fitri
“Yazid bin Khumair Ar-Rahabi berkata: Abdullah bin Busr,
salah seorang shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pergi bersama
orang-orang di Hari Idul Fitri atau Idhul Adha, maka ia mengingkari lambatnya
imam. Iapun berkata: ‘Kami dahulu telah selesai pada saat seperti ini.’ Dan itu
ketika tasbih.” (Shahih, HR. Al-Bukhari secara mua’llaq, Kitabul ‘Idain Bab
At-Tabkir Ilal ‘Id, 2/456, Abu Dawud Kitabush Shalat Bab Waqtul Khuruj Ilal
‘Id: 1135, Ibnu Majah Kitab Iqamatush- shalah was Sunan fiha Bab Fi Waqti
Shalatil ’Idain. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu
Dawud)
Yang dimaksud dengan kata “ketika tasbih” adalah ketika waktu shalat sunnah.
Dan itu adalah ketika telah berlalunya waktu yang dibenci shalat padanya. Dalam
riwayat yang shahih riwayat Ath-Thabrani yaitu ketika Shalat Sunnah Dhuha.
Ibnu Baththal berkata: “Para ahli fiqih bersepakat bahwa Shalat Id tidak boleh
dilakukan sebelum terbitnya matahari atau ketika terbitnya. Shalat Id hanyalah
diperbolehkan ketika diperbolehkannya shalat sunnah.” Demikian dijelaskan Ibnu
Hajar. (Al-Fath, 2/457)
Namun sebenarnya ada yang berpendapat bahwa awal waktunya adalah bila terbit
matahari, walaupun waktu dibencinya shalat belum lewat. Ini pendapat Imam
Malik. Adapun pendapat yang lalu, adalah pendapat Abu Hanifah, Ahmad dan salah
satu pendapat pengikut Syafi’i. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/104)
Namun yang kuat adalah pendapat yang pertama, karena menurut Ibnu Rajab:
“Sesungguhnya telah diriwayatkan dari Ibnu Umar, Rafi’ bin Khadij dan
sekelompok tabi’in bahwa mereka tidak keluar menuju Shalat Id kecuali bila
matahari telah terbit. Bahkan sebagian mereka Shalat Dhuha di masjid sebelum
keluar menuju Id. Ini menunjukkan bahwa Shalat Id dahulu dilakukan setelah
lewatnya waktu larangan shalat.” (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/105)
Apakah Waktu Idul Fitri lebih Didahulukan daripada Idul Adha?
Ada dua pendapat:
Pertama, bahwa keduanya dilakukan dalam waktu yang sama.
Kedua, disunnahkan untuk diakhirkan waktu Shalat Idul Fitri dan disegerakan
waktu Idul Adha. Itu adalah pendapat Abu Hanifah, Asy-Syafi’i dan Ahmad. Ini
yang dikuatkan Ibnu Qayyim, dan beliau mengatakan: “Dahulu Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam melambatkan Shalat Idul Fitri serta menyegerakan Idul Adha.
Dan Ibnu ‘Umar dengan semangatnya untuk mengikuti sunnah tidak keluar sehingga
telah terbit matahari dan bertakbir dari rumahnya menuju mushalla.” (Zadul
Ma’ad, 1/427, Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/105)
Hikmahnya, dengan melambatkan Shalat Idul Fitri maka semakin meluas waktu yang
disunahkan untuk mengeluarkan zakat fitrah; dan dengan menyegerakan Shalat Idul
Adha maka semakin luas waktu untuk menyembelih dan tidak memberatkan manusia
untuk menahan dari makan sehingga memakan hasil qurban mereka. (lihat Fathul
Bari karya Ibnu Rajab, 6/105-106)
Tanpa Adzan dan Iqamah
Dari Jabir bin Samurah ia berkata: “Aku shalat bersama
Rasulullah 2 Hari Raya (yakni Idul Fitri dan Idul Adha), bukan hanya 1 atau 2
kali, tanpa adzan dan tanpa iqamah.” (Shahih, HR. Muslim)
Dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma dan Jabir bin Abdillah Al-Anshari keduanya
berkata: “Tidak ada adzan pada hari Fitri dan Adha.” Kemudian aku bertanya
kepada Ibnu Abbas tentang itu, maka ia mengabarkan kepadaku bahwa Jabir bin
Abdillah Al-Anshari mengatakan: “Tidak ada adzan dan iqamah di hari Fitri
ketika keluarnya imam, tidak pula setelah keluarnya. Tidak ada iqamah, tidak
ada panggilan dan tidak ada apapun, tidak pula iqamah.” (Shahih, HR. Muslim)
Ibnu Rajab berkata: “Tidak ada perbedaan pendapat diantara ulama dalam hal ini
dan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar dan ‘Umar radhiallahu
'anhuma melakukan Shalat Id tanpa adzan dan iqamah.”
Al-Imam Malik berkata: “Itu adalah sunnah yang tiada diperselisihkan menurut
kami, dan para ulama sepakat bahwa adzan dan iqamah dalam shalat 2 Hari Raya
adalah bid’ah.” (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/94)
Bagaimana dengan panggilan yang lain semacam: Ash-shalatu Jami’ah?
Al-Imam Asy-Syafi’i dan pengikutnya menganggap hal itu sunnah. Mereka berdalil
dengan: Pertama: riwayat mursal dari seorang tabi’in yaitu Az-Zuhri.
Kedua: mengqiyaskannya dengan Shalat Kusuf (gerhana).
Namun pendapat yang kuat bahwa hal itu juga tidak disyariatkan. Adapun riwayat
dari Az-Zuhri merupakan riwayat mursal yang tentunya tergolong dha’if (lemah).
Sedangkan pengqiyasan dengan Shalat Kusuf tidaklah tepat, dan keduanya memiliki
perbedaan. Diantaranya bahwa pada Shalat Kusuf orang-orang masih berpencar
sehingga perlu seruan semacam itu, sementara Shalat Id tidak. Bahkan
orang-orang sudah menuju tempat shalat dan berkumpul padanya. (Fathul Bari,
karya Ibnu Rajab, 6/95)
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahu berkata: “Qiyas di
sini tidak sah, karena adanya nash yang shahih yang menunjukkan bahwa di zaman
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk Shalat Id tidak ada adzan dan iqamah
atau suatu apapun. Dan dari sini diketahui bahwa panggilan untuk Shalat Id
adalah bid’ah, dengan lafadz apapun.” (Ta’liq terhadap Fathul Bari, 2/452)
Ibnu Qayyim berkata: Apabila Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai ke
tempat shalat maka mulailah beliau shalat tanpa adzan dan iqamah dan tanpa
ucapan “Ash-shalatu Jami’ah”, dan Sunnah Nabi adalah tidak dilakukan sesuatupun
dari (panggilan-panggilan) itu. (Zadul Ma’ad, 1/427)
Kaifiyah (Tata Cara) Shalat Id
Shalat Id dilakukan dua rakaat, pada prinsipnya sama
dengan shalat-shalat yang lain. Namun ada sedikit perbedaan yaitu dengan
ditambahnya takbir pada rakaat yang pertama 7 kali, dan pada rakaat yang kedua
tambah 5 kali takbir selain takbiratul intiqal.
Adapun takbir tambahan pada rakaat pertama dan kedua itu tanpa takbir ruku’,
sebagaimana dijelaskan oleh ‘Aisyah dalam riwayatnya:
“Dari Aisyah, ia berkata: Rasulullah bertakbir para (shalat) Fitri dan Adha 7
kali dan 5 kali selain 2 takbir ruku’.” (HR. Abu Dawud dalam Kitabush Shalat
Bab At-Takbir fil ’Idain. ‘Aunul Ma’bud, 4/10, Ibnu Majah no. 1280, dishahihkan
oleh Asy-Syaikh Al-Abani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 1149)
Pertanyaan: Apakah pada 5 takbir pada rakaat yang kedua dengan takbiratul
intiqal (takbir perpindahan dari sujud menuju berdiri)?
Ibnu Abdil Bar menukilkan kesepakatan para ulama bahwa lima takbir tersebut
selain takbiratul intiqal. (Al-Istidzkar, 7/52 dinukil dari Tanwirul ‘Ainain)
Pertanyaan: Tentang 7 takbir pertama, apakah termasuk takbiratul ihram atau
tidak?
Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat:
Pertama: Pendapat Al-Imam Malik, Al-Imam Ahmad, Abu Tsaur dan diriwayatkan dari
Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma bahwa 7 takbir itu termasuk takbiratul ihram.
(lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/178, Aunul Ma’bud, 4/6, Istidzkar, 2/396
cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah)
Kedua: Pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i, bahwa 7 takbir itu tidak termasuk
takbiratul ihram. (Al-Umm, 3/234 cet. Dar Qutaibah dan referensi sebelumnya)
Nampaknya yang lebih kuat adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i. Hal itu karena
ada riwayat yang mendukungnya, yaitu:
“Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bertakbir pada 2 hari raya 12 takbir, 7 pada rakaat yang
pertama dan 5 pada rakaat yang terakhir, selain 2 takbir shalat.”(Ini lafadz
Ath-Thahawi)
Adapun lafadz Ad-Daruquthni:
“Selain takbiratul ihram.” (HR. Ath-Thahawi dalam Ma’ani Al-Atsar, 4/343 no.
6744 cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah, Ad-Daruquthni, 2/47-48 no. 20)
Dalam sanad hadits ini ada seorang perawi yang diperselisihkan bernama Abdullah
bin Abdurrahman At-Tha‘ifi. Akan tetapi hadits ini dishahihkan oleh Al-Imam
Ahmad, ‘Ali Ibnul Madini dan Al-Imam Al-Bukhari sebagaimana dinukilkan oleh
At-Tirmidzi. (lihat At-Talkhis, 2/84, tahqiq As-Sayyid Abdullah Hasyim
Al-Yamani, At-Ta’liqul Mughni, 2/18 dan Tanwirul ‘Ainain, hal. 158)
Adapun bacaan surat pada 2 rakaat tersebut, semua surat yang ada boleh dan sah
untuk dibaca. Akan tetapi dahulu Nabi membaca pada rakaat yang pertama
“Sabbihisma” (Surat Al-A’la) dan pada rakaat yang kedua “Hal ataaka” (Surat
Al-Ghasyiah). Pernah pula pada rakaat yang pertama Surat Qaf dam kedua Surat
Al-Qamar (keduanya riwayat Muslim, lihat Zadul Ma’ad, 1/427-428)
Apakah Mengangkat Tangan di Setiap Takbir Tambahan?
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jumhur
ulama berpendapat mengangkat tangan.
Sementara salah satu dari pendapat Al-Imam Malik tidak mengangkat tangan,
kecuali takbiratul ihram. Ini dikuatkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Tamamul
Minnah (hal. 349). Lihat juga Al-Irwa‘ (3/113).
Tidak ada riwayat dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang shahih dalam hal
ini.
Kapan Membaca Doa Istiftah?
Al-Imam Asy-Syafi’i dan jumhur ulama berpendapat setelah
takbiratul ihram dan sebelum takbir tambahan. (Al-Umm, 3/234 dan Al-Majmu’,
5/26. Lihat pula Tanwirul ‘Ainain hal. 149)
Khutbah Id
Dahulu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendahulukan
shalat sebelum khutbah.
“Dari Ibnu ‘Abbas ia berkata: Aku mengikuti Shalat Id bersama Rasulullah, Abu
Bakr, ‘Umar dan ‘Utsman maka mereka semua shalat dahulu sebelum khutbah.”
(Shahih, HR Al-Bukhari Kitab ‘Idain Bab Al-Khutbah Ba’dal Id)
Dalam berkhutbah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dan menghadap
manusia tanpa memakai mimbar, mengingatkan mereka untuk bertakwa kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala. Bahkan juga beliau mengingatkan kaum wanita secara khusus
untuk banyak melakukan shadaqah, karena ternyata kebanyakan penduduk neraka
adalah kaum wanita.
Jamaah Id dipersilahkan memilih duduk mendengarkan atau tidak, berdasarkan
hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:
Dari ‘Abdullah bin Saib ia berkata: Aku menyaksikan bersama Rasulullah Shalat
Id, maka ketika beliau selesai shalat, beliau berkata: “Kami berkhutbah,
barangsiapa yang ingin duduk untuk mendengarkan khutbah duduklah dan
barangsiapa yang ingin pergi maka silahkan.” (Shahih, HR. Abu Dawud dan
An-Nasa`i. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud,
no. 1155)
Namun alangkah baiknya untuk mendengarkannya bila itu berisi nasehat-nasehat
untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan berpegang teguh dengan
agama dan Sunnah serta menjauhi bid’ah. Berbeda keadaannya bila mimbar Id
berubah menjadi ajang kampanye politik atau mencaci maki pemerintah muslim yang
tiada menambah di masyarakat kecuali kekacauan. Wallahu a’lam.
Wanita yang Haid
Wanita yang sedang haid tetap mengikuti acara Shalat Id,
walaupun tidak boleh melakukan shalat, bahkan haram dan tidak sah. Ia
diperintahkan untuk menjauh dari tempat shalat sebagaimana hadits yang lalu
dalam pembahasan hukum Shalat Id.
Sutrah (pembatas shalat) Bagi Imam
Sutrah adalah benda, bisa berupa tembok, tiang, tongkat
atau yang lain yang diletakkan di depan orang shalat sebagai pembatas
shalatnya, panjangnya kurang lebih 1 hasta. Telah terdapat larangan dari Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk melewati orang yang shalat. Dengan sutrah
ini, seseorang boleh melewati orang yang shalat dari belakang sutrah dan tidak
boleh antara seorang yang shalat dengan sutrah. Sutrah ini disyariatkan untuk
imam dan orang yang shalat sendirian atau munfarid. Adapun makmum tidak perlu
dan boleh lewat di depan makmum. Ini adalah Sunnah yang mayoritas orang
meninggalkannya. Oleh karenanya, marilah kita menghidupkan sunnah ini, termasuk
dalam Shalat Id.
“Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu apabila
keluar pada hari Id, beliau memerintahkan untuk membawa tombak kecil, lalu
ditancapkan di depannya, lalu beliau shalat ke hadapannya, sedang orang-orang
di belakangnya. Beliau melakukan hal itu di safarnya dan dari situlah para
pimpinan melakukannya juga.” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitabush Shalat Bab
Sutratul Imam Sutrah liman Khalfah dan Kitabul ‘Idain Bab Ash-Shalat Ilal
harbah Yaumul Id. Al-Fath, 2/463 dan Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/136)
Bila Masbuq (Tertinggal) Shalat Id, Apa yang Dilakukan?
Al-Imam Al-Bukhari membuat bab dalam Shahih-nya berjudul:
“Bila tertinggal shalat Id maka shalat 2 rakaat, demikian pula wanita dan
orang-orang yang di rumah dan desa-desa berdasarkan sabda Nabi: ‘Ini adalah Id
kita pemeluk Islam’.”
Adalah ‘Atha` (tabi’in) bila ketinggalan Shalat Id beliau shalat dua rakaat.
Bagaimana dengan takbirnya? Menurut Al-Hasan, An-Nakha’i, Malik, Al-Laits,
Asy-Syafi’i dan Ahmad dalam satu riwayat, shalat dengan takbir seperti takbir
imam. (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/169)
Pulang dari Shalat Id Melalui Rute Lain saat Berangkat
Dari Jabir, ia berkata:” Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam apabila di hari Id, beliau mengambil jalan yang berbeda. (Shahih, HR.
Al-Bukhari Kitab Al-’Idain Bab Man Khalafa Thariq Idza Raja’a…, Fathul Bari
karya Ibnu Hajar, 2/472986, karya Ibnu Rajab, 6/163 no. 986)
Ibnu Rajab berkata: “Banyak ulama menganggap sunnah bagi imam atau selainnya,
bila pergi melalui suatu jalan menuju Shalat Id maka pulang dari jalan yang
lainnya. Dan itu adalah pendapat Al-Imam Malik, Ats-Tsauri, Asy-Syafi’i dan
Ahmad… Dan seandainya pulang dari jalan itu, maka tidak dimakruhkan.”
Para ulama menyebutkan beberapa hikmahnya, diantaranya agar lebih banyak
bertemu sesama muslimin untuk memberi salam dan menumbuhkan rasa cinta. (Fathul
Bari karya Ibnu Rajab, 6/166-167. Lihat pula Zadul Ma’ad, 1/433)
Bila Id Bertepatan dengan Hari Jum’at
Dari Iyas bin Abi Ramlah Asy-Syami, ia berkata: Aku
menyaksikan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dia sedang bertanya kepada Zaid bin
Arqam: “Apakah kamu menyaksikan bersama Rasulullah, dua Id berkumpul dalam satu
hari?” Ia menjawab: “Iya.” Mu’awiyah berkata: “Bagaimana yang beliau lakukan?”
Ia menjawab: “Beliau Shalat Id lalu memberikan keringanan pada Shalat Jumat dan
mengatakan: ‘Barangsiapa yang ingin mengerjakan Shalat Jumat maka shalatlah’.”
Dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau
berkata: “Telah berkumpul pada hari kalian ini 2 Id, maka barangsiapa yang
berkehendak, (Shalat Id) telah mencukupinya dari Jum’at dan sesungguhnya kami
tetap melaksanakan Jum’at.” (Keduanya diriwayatkan Abu Dawud dan dishahihkan
Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 1070 dan 1073)
Ibnu Taimiyyah berkata: “Pendapat yang ke-3 dan itulah yang benar, bahwa yang
ikut Shalat Id maka gugur darinya kewajiban Shalat Jum’at. Akan tetapi bagi
imam agar tetap melaksanakan Shalat Jum’at, supaya orang yang ingin mengikuti
Shalat Jum’at dan orang yang tidak ikut Shalat Id bisa mengikutinya. Inilah
yang diriwayatkan dari Nabi dan para shahabatnya.” (Majmu’ Fatawa, 23/211)
Lalu beliau mengatakan juga bahwa yang tidak Shalat Jum’at maka tetap Shalat
Dzuhur.
Ada sebagian ulama yang berpendapat tidak Shalat Dzuhur pula, diantaranya
‘Atha`. Tapi ini pendapat yang lemah dan dibantah oleh para ulama. (Lihat
At-Tamhid, 10/270-271)
Ucapan Selamat Saat Hari Raya
Ibnu Hajar mengatakan: “Kami meriwayatkan dalam
Al-Muhamiliyyat dengan sanad yang hasan dari Jubair bin Nufair bahwa ia
berkata: ‘Para shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bila bertemu di hari
Id, sebagian mereka mengatakan kepada sebagian yang lain:
Taqabbalallahu minna wa minkum
“Semoga Allah menerima (amal) dari kami dan dari kamu.”
(Lihat pula masalah ini dalam Ahkamul ‘Idain karya Ali Hasan hal. 61, Majmu’
Fatawa, 24/253, Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/167-168)
Wallahu a’lam.
(Dikutip dari Dikutip dari majalah Asy Syariah, Vol.III/No.26/1427 H/2006,
tulisan Al-Ustadz Qomar ZA, Lc., judul asli Meneladani Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam dalam Ber'idul Fithri,)
No comments
Post a Comment