Misi Kerasulan Muhammad SAW dan Dakwah di Makkah

Misi Kerasulan Muhammad SAW dan Dakwah di Makkah


1. Misi Nabi Muhammad SAW adalah Menyempurnakan Akhlak


Selain mengemban misi reformasi akidah, Nabi Muhammad SAW juga mengemban misi reformasi akhlak. Seperti telah diketahui, bahwa keadaan akhlak bangsa Arab sebelum Nabi diutus adalah akhlak Jahiliyah. Perbuatan-perbuatan seperti mabuk-mabukan, berjudi, berzina, mengubur bayi perempuan hidup-hidup dianggap perbuatan biasa bahkan dianggap pula sebagai ukuran kehebatan seseorang. Mereka tidak menyadari bahwa perbuatan-perbuatan tersebut merupakan simbol masyarakat tidak beradab.


Ketika fajar Islam mulai terbit kebiasaan-kebiasaan buruk tersebut sedikit demi sedikit dikikis. Islam mengajarkan bahwa mabuk-mabukan, berjudi dan berzina adalah perbuatan tercela sehingga harus segera ditinggalkan. Islam mengajarkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Bahkan Nabi  mengangkat derajat kaum wanita dengan sabdanya ”Surga itu terletak di bawah telapak kaki ibu”, ataupun keutamaan berbakti kepada ibu. Nabi mengatakan hal itu di tengah-tengah kaumnya yang tidak memberi penghormatan kepada kaum wanita. Kedatangan Nabi men dorong kaumnya menjadi bangsa yang beradab dan berakhlak. Sabda beliau Rasulullah SAW yang artinya : Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak. (HR. Ahmad).

Akhlak yang baik (akhlakul karimah)  merupakan landasan   sekaligus pengendali dalam melaksanakan semua aspek kehidupan seperti sosial, budaya, politik, pendidikan, ekonomi dan lainnya. 

Dalam menyampaikan ajaran Islam termasuk aspek akhlak Nabi tidak hanya secara lisan, tetapi juga dicontohkan langsung oleh Nabi atau keteladanan,  beliau sendiri mempraktekkan apa yang beliau ajarkan. Sehingga secara sukarela kaum Muslimin mengikuti dan mengamalkan ajaran-ajaran beliau dan terpatri kuat di dalam lubuk hati. Sampai saat ini dan seterusnya walaupun Nabi sudah wafat 14 abad yang lalu, umatnya tetap konsekwen menjalankan ajaran-ajarannya. Keteladanan Nabi diakui oleh Allah dalam firmanNya  yang artinya : Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah suri tauladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan hari Kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah (QS. Al Ahzab : 21)

Para sahabat adalah manusia yang sangat beruntung karena diperkenankan mencontoh langsung budi pekerti agung Rasulullah. Sebuah hadits yang dikeluarkan oleh sahabat Anas RA mengatakan : Rasulullah SAW adalah manusia yang terbaik akhlaknya. (HR. Muttafaq ’Alaih)

Keteladanan akhlak hanya lahir dari sosok yang berakhlak agung, budi pekerti luhur sudah mendarah daging baginya, yakni Rasulullah SAW,  seperti dinyatakan pada ayat berikut ini  yang artinya : Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung. (QS. Al Qalam : 4)
Nabi Muhammad SAW telah membimbing umat manusia mencapai derajat kemuliaan dengan akhlak yang dimilikinya. Dengan kemuliaan akhlaknya seseorang dapat diterima dengan mudah dalam pergaulan sehingga dia dapat menyumbangkan kemampuannya. Akhirnya dia menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain. Nabi pernah bersabda yang artinya : Orang yang terbaik di antara kamu adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. (Al Hadits)



2. Nabi Muhammad SAW sebagai Rahmat bagi Alam Semesta



Sebagaimana telah dipelajari pada semester I, bahwa diutusnya Nabi Muhammad SAW bersifat universal atau berlaku untuk semua umat manusia bahkan seluruh alam semesta (rahmatan lil ’alamin) sampai akhir jaman. Sebagaimana firman Allah SWT yang artinya : Dan tiadalah Kami mengutus kamu melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS. Al Anbiya : 107)

Ayat tersebut mengandung arti bahwa rahmat ajaran Nabi Muhammad SAW tidak hanya diperuntukkan dan dirasakan oleh kaum muslimin tetapi oleh seluruh umat manusia bahkan makhluk Allah selain manusia. Ajaran Islam penuh kedamaian, memberikan rasa keadilan bagi sesama.

Aspek akidah merupakan rahmat terbesar. Seseorang yang akidahnya kokoh akan melandasi aspek-aspek kehidupan lainnya. Pada aspek akidah, Nabi telah mengembalikan kemurnian ajaran tauhid yang dibawa oleh Rasul-rasul sebelumnya, sekaligus mengkoreksi semua penyimpangan akidah seperti penyembahan berhala dan praktek kemusyrikan lainnya. Akidah dikembalikan pada hakekat semula yakni tiada tuhan selain Allah. Dengan demikian Nabi telah melakukan reformasi akidah secara total, sehingga orang-orang yang menerima, meyakini dan mengamalkan ajaran Nabi  berarti sudah kembali ke alam tauhid dan selamat dari jurang kemusyrikan. 

Dengan akidah tauhid umat manusia dipersatukan oleh satu keyakinan yaitu akidah Islamiyah. Semua manusia sama kedudukannya di mata Allah, yang membedakannya hanyalah ketaqwaannya, sebagaimana firman Allah yang artinya ” Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling bertaqwa”. Berdasarkan ayat ini jurang pemisah antara si kaya dan si miskin tidak ada lagi, demikian juga penindasan golongan. Inilah rahmat yang dapat dirasakan secara semesta.
Pada ayat lain Allah SWT berfirman yang artinya : ... Dan Kami tidak mengutus kamu (Muhammad) melainkan sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. (QS. Al Isra : 105)
Di dalam ayat Al Quran banyak disebutkan tentang kabar gembira (basyiran), seperti balasan surga bagi orang-orang beriman di akhirat nanti. Kabar ini memberikan motivasi kepada umat Islam untuk mengamalkan ajaran Islam secara benar. Di sisi lain banyak pula disebutkan tentang peringatan (nadziran) seperti siksa akhirat bagi mereka yang melanggar syariat Islam. 
Nadziran ini menjadi pengendali bagi umat Islam untuk tidak melakukan perbuatan yang melanggar syariat Islam.  Antara basyiran dan nadziran ini sebaiknya berjalan bersama untuk menjaga keseimbangan antara motivasi dan pengendali. Dengan adanya keseimbangan ini umat Islam tetap bersemangat dalam menjalankan syariat Islam secara konsekwen namun tetap berhati-hati agar tidak melakukan pelanggaran syariat.
Dapat disimpulkan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah sosok pemurni akidah, penyempurna akhlak, teladan terbaik dan penerang semesta alam dengan semua ajarannya yang paripurna, berlaku untuk seluruh umat manusia dan makhluk Allah yang lain.


3.    Meneladani Perjuangan Nabi dan Para Sahabat dalam Menghadapi Masyarakat  Makkah



Secara garis besar dakwah Nabi Muhammad SAW di Makkah dibagi menjadi dua bagian, yaitu dakwah secara sembunyi-sembunyi dan dakwah secara terang-terangan.  Dakwah secara sembunyi dimulai setelah wahyu kedua turun, yaitu surat Al Mudatstsir 1 – 7 yang artinya : Hai orang yang berselimut, bangunlah lalu berilah peringatan, dan Tuhanmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak, dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu bersabarlah. (QS. Al Mudatstsir: 1 – 7).

Nabi menyadari benar bahwa kondisi umat Islam waktu itu masih lemah, oleh karena itu dakwah dilakukan secara sembunyi-sembunyi atau secara diam-diam, dari pintu ke pintu dan dari mulut ke mulut. Kegiatan dakwah dipusatkan dirumah Arqam bin Al Arqam. Pada saat akan melaksanakan ibadah, mereka harus mengambil tempat yang tersembunyi di luar Makkah untuk menghindari gangguan dari kaum Quraisy. Sahabat Nabi Muhammad SAW yang masuk Islam pada periode ini adalah Khadijah, Ummu Aiman dan Fatimah bin Khaththab dari golongan wanita; Ali bin Abi Thalib dan Zaid bin Harits  dari golongan anak-anak;  Abu Bakar, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin ’Auf, Thalhah bin Ubaidillah, Saad bin Abi Waqash, Zubair bin Awwam, Abu Ubaidah bin Jarrah, Arqam bin Abil Arqam, Said bin Zaid Al Adawi, dan beberapa sahabat lainnya. Para sahabat tersebut dijuluki dengan ”Assabiqunal Awwalun” atau orang-orang yang pertama masuk Islam. Dakwah dengan secara sembunyi-sembunyi ini berlangsung selama tiga tahun.

Tidak lama kemudian turunkan wahyu yang memerintahkan Nabi Muhammad SAW berdakwah secara terang-terangan, yakni surat Asy-Syu’ara ayat 214 – 216 : yang artinya Dan berilah peringatan kepada kaum kerabatmu yang terdekat, dan rendahkanlah dirimu kepada orang-orang yang mengikutimu yaitu orang-orang yang beriman, jika mereka mendurhakaimu, katakanlah : ”Sesungguhnya aku tidak bertanggungjawab terhadap apa yang kamu kerjakan”. (QS. Asy-Syu’ara ayat 214 – 216)

Dan surat Al Hijr ayat 94  yang artinya: Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik. (QS. Al Hijr : 94)



4.    Konsep Muhammad Saw Sebagai Penutup Para Nabi  Serta Implikasinya Dalam Kehidupan Sosial Serta Keagamaan




Dalam sangkutannya dengan Nabi, praktek tabanni (yang beliau lakukan  untuk  bekas budaknya yang dimerdekakan oleh beliau sendiri, Zayd [ibn  Haritsah])  mengakibatkan  sebutan  Nabi sebagai  "bapak" seseorang diantara kaum beriman, yaitu Zayd (maka ia disebut Zayd ibn Muhammad), dengan  mengesampingkan kaum  beriman  yang lain. Maka firman Allah mengenai hal ini terbaca: "Muhammad itu bukanlah bapak seseorang dari  antara kaum lelakimu, melainkan Rasul Allah dan penutup para Nabi." Kemudian, mendahului firman itu  terbaca  firman:  "Nabi lebih berhak atas kaum beriman daripada diri mereka sendiri, dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu  mereka..."  Sudah tentu  yang  dimaksud  bahwa  isteri-isteri  Nabi itu adalah

ibu-ibu kaum beriman ialah dalam pengertian spiritual.  Maka Nabi sendiri, sementara dinyatakan sebagai bukan bapak salah seorang diantara  kaum  beriman,  adalah  bapak  (spiritual) seluruh  kaum  beriman,  yakni, panutan mereka semua. Inilah yang dapat kita simpulkan dari rangkaian firman-firman  yang relevan.  Muhammad  Asad  menjabarkan  bahwa  penegasan  itu mengandung arti  penolakan  kepada  pandangan  bahwa  adanya hubungan  fisik  (keturunan)  dengan  Nabi  mempunyai  makna spiritual tersendiri; sebaliknya, karena hubungan  kebapakan kepada  Nabi dan keibuan kepada para isteri beliau itu harus dipahami hanya  sebagai  hubungan  spiritual  (dan  mustahil sebagai  hubungan  fisikal), maka kedudukan seluruh kaum beriman dalam hal ini di hadapan beliau adalah mutlak  sama. Pengertian  ini  lebih-lebih  lagi  sangat logis karena Nabi Muhammad saw adalah Utusan Allah yang terakhir. 

Untuk pengertian "penutup" itu al-Qur'an menggunakan istilah "khatam," yang secara harfiah berarti "cincin," yaitu cincin pengesah dokumen (seal, stempel), sebagaimana Nabi  Muhammad sendiri  juga  memilikinya  (antara  lain  beliau pergunakan mereka yang sahkan surat-surat yang  beliau  kirim  ke  para penguasa  sekitar Jazirah Arabia saat itu). Jadi fungsi Nabi Muhammad saw terhadap para Nabi  dan  Rasul  sebelum  beliau ialah untuk memberi pengesahan kepada kebesaran, kitab-kitab suci, dan ajaran mereka. Hal ini tersimpul  dari  penjelasan tentang  kedudukan  al-Qur'an terhadap kitab-kitab suci yang lalu, yaitu sebagai pembenar (mushaddiq)  dan  penentu  atau penguji  (mahaymin),  disamping  sebagai pengoreksi (furqan) atas  penyimpangan   yang   terjadi   oleh   para   pengikut kitab-kitab itu. Penegasan itu kita dapatkan dalam al-Qur'an dalam deretan keterangan tentang kaum  Yahudi  dan  Kristen, disertai  harapan agar mereka benar-benar menjalankan ajaran agama mereka masing-masing  dengan  baik,  dan  dirangkaikan dengan   penegasan   pluralitas   kenyataan  hidup  manusia, termasuk dan  terutama  hidup  keagamaannya.  Di  sini  akan dikutip  deretan firman itu, karena amat patut (dan di zaman sekarang cukup mendesak) untuk disimak dan direnungkan  akan makna dan semangatnya.

Mereka  (kaum  Yahudi)  itu  suka mendengarkan kedustaan dan memakan  harta  terlarang.  Kalau  mereka  datang   kepadamu (Muhammad)   maka  buatlah  keputusan  hukum  antara  mereka (berkenaan dengan  perkara  yang  menyangkut  mereka),  atau berpalinglah dari mereka. Jika engkau berpaling dari mereka, maka mereka tidaklah akan merugikan engkau  sedikitpun  juga Dan jika engkau buat keputusan hukum, maka buatlah keputusan hukum itu antara  mereka  dengan  adil.

Sesungguhnya  Allah mencintai orang-orang yang berbuat keadilan. Tetapi bagaimana mereka akan meminta hukum kepadamu, padahal mereka punya Taurat yang didalamnya ada hukum Allah kemudian mereka  berpaling  sesudah  itu  (dari  keputusanmu). Mereka bukanlah kaum yang (benar-benar) beriman. 
Sesungguhnya Kami (Tuhan) telah menurunkan Kitab Taurat yang didalamnya  ada  hidayah  dan cahaya, yang dengan Taurat itu para  Nabi  yang  berserah  diri  (kepada   Allah)   membuat keputusan  hukum untuk mereka yang beragama Yunani, demikian pula  mereka  yang  ber-Ketuhanan  (rabbaniyyun)  dan   para pendeta mereka, karena perintah agar mereka memelihara kitab Allah, dan mereka menjadi saksi atas hal itu. Maka janganlah kamu takut kepada manusia, melainkan takutlah kepada-Ku, dan jangan pula kamu menjual ayat-ayat-Ku  dengan  harga  murah. Barangsiapa  tidak  menjalankan hukum dengan yang diturunkan Allah maka mereka adalah kaum yang kafir. 
Dan telah kami tetapkan  bagi  mereka  (kaum  Yahudi)  dalam Taurat  bahwa  jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung,  kuping  dengan  kuping,  gigi  dengan gigi,   dan  luka  pun  ada  balasannya.  Namun  barangsiapa melepaskan haknya (untuk membalas),  maka  hal  itu  menjadi penebus  bagi  (dosa)-nya. Dan barangsiapa tidak menjalankan hukum dengan yang diturunkan Allah maka mereka  adalah  kaum yang zalim.


Dan  Kami  susuli atas jejak mereka dengan Isa putera Maryam sebagai pendukung bagi  kitab  yang  ada  sebelumnya,  yaitu Taurat.  Dan Kami karuniakan kepadanya Injil, didalamnya ada hidayah dan cahaya, sebagai mendukung kebenaran  kitab  yang ada,  yaitu  Taurat,  dan  sebagai petunjuk dan nasihat bagi mereka yang bertaqwa. 

Karena itu hendaknyalah para penganut Injil itu  menjalankan hukum   dengan   apa   yang   diturunkan  Allah  didalamnya. Barangsiapa tidak menjalankan hukum dengan  yang  diturunkan Allah maka mereka adalah kaum yang fasik. 

Dan  Kami  turunkan  kepada  engkau (Muhammad) dengan benar, sebagai  pendukung   bagi   yang   ada   sebelumnya,   yaitu kitab-kitab  suci (terdahulu) dan sebagai penentu (kebenaran kitab yang  lalu  itu).  Maka  jalankan  hukum  dengan  yang diturunkan  Allah,  dan  jangan  mengikuti  keinginan mereka sehingga menyimpang dari yang datang  kepada  engkau,  yaitu kebenaran.  Untuk  masing-masing  dari  kamu (ummat manusia) telah Kami tetapkan tatanan hukum  (syir'ah,  syari'ah)  dan jalan  hidup  (minhaj).  Jika  seandainya Allah menghendaki, maka  tentu  akan  dijadikannya  kamu  sekalian  ummat  yang tunggal.  Tetapi  Dia  hendak  menguji kamu berkenaan dengan hal-hal  yang   telah   dikaruniakan   kepada   kamu.   Maka berlombalah  kamu  sekalian untuk berbagai kebajikan. Kepada Allah tempat kembalimu  semua,  maka  Dia  akan  menjelaskan kepadamu  tentang  perkara  yang  pernah kamu perselisihkan. 

Penafsiran  terhadap  ayat-ayat  Ilahi  ini  amat  baku   di kalangan  para  ahli  dan  'ulama. Pertama, dalam firman itu terdapat penegasan bahwa para penganut agama, dalam hal  ini Yahudi  dan Kristen, harus menjalankan ajaran kebenaran yang diberikan Allah kepada mereka  melalui  kitab-kitab  mereka, berturut-turut   Taurat   dan   Injil.  Kalau  mereka  tidak melakukan hal itu,  maka  mereka  adalah  kafir  dan  zalim. Kedua,  al-Qur'an  mendukung  kebenaran  dasar ajaran-ajaran dalam  kitab-kitab  suci  itu,  tapi  juga  mengujinya  dari kemungkinan   pengimpangan   oleh   para  pengikutnya.  Jadi al-Qur'an mengajarkan tentang kontinuitas agama-agama  Tuhan -sebagaimana banyak ditegaskan di berbagai tempat lain dalam al-Qur'an- sekaligus ajaran tentang perkembangan agama-agama Tuhan itu dari masa ke masa. 

Segi  kebenaran  yang didukung dan dilindungi oleh al-Qur'an ialah kebenaran asasi yang menjadi inti semua  agama  Allah, khususnya  Tawhid  atau  paham Ketuhanan Yang Maha Esa. Inti agama yang umum itu dinyatakan dalam  istilah  Arab  al-din, yang  seperti dijelaskan oleh Muhammad Asad mengandung makna kebenaran-kebenaran agama/spiritual  yang  asasi  dan  tidak berubah-ubah, yang menurut al-Qur'an diajarkan kepada setiap Utusan Allah. Jadi semua Nabi dan Rasul membawa ajaran  inti keagamaan  (din)  yang sama, kecuali jika diselewengkan atau diubah oleh para pengikutnya.  Namun  para  Nabi  dan  Rasul tidak  membawa sistem hukum (syir'ah, syari'ah) ataupun cara hidup (minhaj, way of life) yang sama. Perbedaan dalam  segi ini membawa kepada adanya kenyataan plural agama-agama, yang sepanjang ajaran  al-Qur'an  tidak  perlu  kita  persoalkan, karena   itu   sudah   menjadi  kehendak  Allah  (Dia  tidak menghendaki masyarakat tunggal manusia), dan Allah pula yang akan menjelaskan adanya perbedaan ini.
Dari  urutan  dan  logika ajaran al-Qur'an itu dapat dilihat letak pandangan bahwa al-Qur'an adalah kulminasi semua kitab suci,  dan bahwa penerimanya, yaitu Nabi Muhammad saw adalah penutup para Nabi dan Rasul. Sebab ajaran yang  dibawakannya adalah   perkembangan   akhir   dari   semua  agama,  menuju kesempurnaan. Maka Nabi Muhammad sebagai penutup segala Nabi juga  berarti  bahwa  beliau  diutus  untuk  sekalian  ummat manusia: 


Katakan olehmu (Muhammad): "Wahai  sekalian  ummat  manusia! Sesungguhnya  aku  adalah Utusan Allah kepada kamu sekalian, yang bagi-Nya kekuasaan seluruh langit dan bumi; tiada Tuhan selain  Dia  yang menghidupkan dan mematikan." Maka sekarang berimanlah kamu sekalian kepada Allah dan  kepada  Rasul-Nya yang   tak  pandai  baca  tulis  itu,  yang  beriman  kepada firman-firmanNya.  Ikutilah  dia,  agar   kamu   mendapatkan petunjuk. 

Firman  ini,  dilihat  dari  letaknya, merupakan interpolasi atas deretan keterangan  tentang  Nabi  Musa  dan  keturunan Israel.   Maksudnya   ialah   menjelaskan   bahwa  sementara Nabi-nabi terdahulu dan ajaran-ajaran yang dibawanya tertuju khusus  kepada bangsa, tempat dan zaman tertentu, namun Nabi Muhammad dan al-Qur'an tertuju kepada seluruh ummat manusia, tanpa  terikat  oleh  bangsa,  tempat maupun zaman tertentu. Sebab sesudah Nabi Muhammad saw tidak akan  lagi  ada  Nabi, dan sesudah al-Qur'an tidak diturunkan lagi kitab suci. Oleh karena itu Nabi Muhammad saw juga disebut sebagai bukti rahmat  atau  kasih  Allah  kepada  seluruh  alam, khususnya seluruh ummat manusia. 

Dan tidaklah Kami mengutus engkau (hai  Muhammad)  melainkan sebagai   rahmat   untuk  sekalian  alam.  Katakan  (olehmu, Muhammad), "Sesungguhnya diwahyukan kepadaku  bahwa  Tuhanmu adalah  Tuhan  Yang  Maha  Esa.  Apakah kamu bersedia tunduk (Islam) kepada-Nya?" Kalau mereka  berpaling,  maka  katakana olehmu,  "Ku telah sampaikan hal ini kepada kamu semua tanpa perbedaan. Dan aku tidak tahu  apakah  dekat  (segera)  atau jauh  (terjadinya)  apa  yang  dijanjikan  kepada kamu (oleh Tuhan) itu. 

Jadi paham Tawhid atau Ketuhanan Yang Maha Esa  adalah  inti ajaran  al-Qur'an,  sebagaimana  juga  inti ajaran para Nabi yang lain. Kita diperintahkan untuk  tunduk  (Islam)  kepada Tuhan   Yang  Maha  Esa  itu.  Dan  ajaran  inti  ini  telah disampaikan  Nabi  kepada  ummat  manusia  tanpa  perbedaan.

Dengan  kata-kata  lain,  ajaran  adalah universal. Muhammad Asad  menjelaskan  segi-segi  yang  mendukung  universalitas al-Qur'an,  yaitu,  pertama, seruan al-Qur'an tertuju kepada seluruh ummat manusia, tanpa mempedulikan keturunan, ras dan
lingkungan  budayanya:  kedua, fakta bahwa al-Qur'an menyeru semata-mata  kepada  amal  manusia  dan   karenanya,   tidak merumuskan  dengan yang bisa diterima atas dasar kepercayaan buta semata; dan akhirnya, fakta bahwa -berbeda  dari  semua kitab  suci  yang  diketahui  dalam sejarah- al-Qur'an tetap seluruhnya  tak  berubah   dalam   kata-katanya   sejak   ia diturunkan  dalam  belasan abad yang lalu dan akan selamanya demikian keadaannya, karena  ia  diantara  sedemikian  luas, sesuai dengan janji Illahi. "Dan Kami-(Tuhan)-lah yang pasti menjaganya" (QS. al-Hijr/15:9). Berdasarkan tiga daftar  isi muka  al-Qur'an  merupakan tahap akhir wahyu Tuhan, dan Nabi. Muhammad adalah penutup segala Nabi. 


= Baca Juga =



No comments

Post a Comment

Silahkan Berikan Saran

Info Kurikulum Merdeka

Info Kurikulum Merdeka
Info Kurikulum Merdeka

Search This Blog

Social Media

Facebook  Twitter  Instagram  Google News   Telegram  

Popular Posts



































Free site counter